Kisah ini disampaikan untuk menjelaskan tentang niat hanya karena Allah Ta'ala.
Seorang bercerita, "Suatu malam di rumah aku membaca Quran Surat Thaahaa. Lalu aku tidur. Aku bermimpi seorang dari surga membawa lembaran Surat Thaahaa, lalu membuka di hadapanku. Aku lihat sepuluh pahala (kebaikan) tertulis di setiap kata Surat itu kecuali satu kata yang kosong dari tulisan pahala. Aku berkata (kepada pembawa lembaran), 'Demi Allah, aku tadi membaca kata ini, kenapa tidak tertulis pahala bagiku.' Orang itu menjawab, 'Benar! Kamu membaca kata ini dan kami sudah menulis sepuluh pahala bagimu. Namun kami mendengar seruan dari 'Arasy untuk menghapus pahalanya. Maka kami menghapusnya.' Aku menangis dan menanyakan, 'Mengapa kalian melakukan itu?' Dia menjawab, 'Ketika seorang lewat di depan rumahmu, kamu meninggikan suara saat membaca Qur'an Surat Thaahaa, agar didengar oleh orang tersebut. Itu yang membuat pahalamu hilang'."(*hal. 385) (*:1)
Kisah di atas merupakan contoh Riya yaitu seorang yang bangga dengan amal baca Qur'annya yang dipamerkan kepada orang yang lewat di depan rumahnya. Akibatnya pahala satu kata bacaan Qur'an tersebut hilang. Allah Ta'ala tidak menerima amal ibadah yang bukan karena Allah Ta'ala. Hendaknya niat melakukan amal ibadah tulus hanya karena Allah Ta'ala bukan karena siapapun. Berikut ini Ayat Qur'an tentang ibadah hanya untuk Allah Ta'ala.
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS Al-An'aam (6): 162-163)
Prof. DR. Hamka menafsirkan QS Al-An'aam (6) ayat 162-163: "(diringkas) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam disuruh menyatakan bahwa shalat beliau, ibadahnya, hidupnya dan matinya hanya karena Allah Ta'ala dan untuk Allah Ta'ala, Tuhan semesta alam. Tiada berserikat yang lain dengan Allah Ta'ala dalam mengatur alam ini. Jika ada orang bertanya mengapa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dan beribadah, maka beliau akan menjawab bahwa demikian itulah yang diperintahkan Allah Ta'ala kepada beliau. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disuruh menegaskan bahwa dalam menyerahkan diri kepada Allah Ta'ala, beliau merupakan orang yang pertama. Menyerahkan diri itu disebut Islam".(2)
Menurut ahli filsafat Islam terkemuka Imam Al Ghazali, hilangnya pahala di antaranya disebabkan Riya dan Ujub. Riya adalah merasa bangga dengan amalnya yang dipamerkan di hadapan orang lain.(*hal.349) Sedangkan ujub adalah mengagumi amal sendiri.(*hal.402) Agar selamat dari riya dan ujub, hendaknya senantiasa ikhlas dan mengingat nikmat serta pertolongan dari Allah Ta'ala.(*hal.14,368) Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang ujub itu sedang menunggu proses batalnya amal. Jika dia tobat sebelum meninggal, maka dia akan selamat.(*hal.366) Menurut Imam Al-Ghazali amal ibadah yang jumlahnya kecil yang bebas dari riya dan ujub adalah lebih berharga dalam pandangan Allah Ta'ala dibandingkan amal ibadah yang banyak disertai riya dan ujub.(*hal.386) Hendaknya melakukan amal:
hanya demi Allah Ta'ala,
hanya karena Allah Ta'ala,
hanya mencari ridho Allah Ta'ala.(*hal.373) (*:1)
Contoh ujub di antaranya merasa kagum atau bangga dirinya telah berbuat baik atau telah melakukan amal ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, baca Qur'an dan ibadah lainnya. Tidak perlu bangga dengan banyaknya amal ibadah yang telah dilakukan. Allah Ta'ala hanya menerima amal ibadah yang tulus karena Allah Ta'ala. Hendaknya niat melakukan amal ibadah hanya karena Allah Ta'ala. Wallahu Ta'ala a'lam bishawab.
Sumber:
(1) Imam Al-Ghazali, Minhajul Abidin, Khatulistiwa Press.
(2) Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, hal. 2297-2298.